Anemia Akibat Penyakit Kronis


Anemia pada Penyakit Kronis
Oleh Yogi Ismail Gani S.Ked

               Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.1 Anemia ini sangat mirip dengan anemia defisiensi besi tetapi pada anemia ini terjadi sekuestrasi besi di dalam sistem RES karena inflamasi. Pada anemia jenis ini, terjadi sekuestrasi besi di dalam makrofag. Sekuestrasi ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dependen besi atau untuk memperkuat aspek imunitas pejamu.2

Etiologi dan Patogenesis

                Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.1
                Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan artritis reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronis.1
                Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker.1

a.       Pemendekan Masa Hidup Eritrosit
                Anemia pada penyakit kronis diduga merupakan suatu sindrom stres hematologik, yang terjadi karena diproduksinya sitokin secara berlebihan. Sitokin yang berlebihan ini yang akan menyebabkan sekuestrasi makrofag. Produksi sitokin yang berlebihan terjadi karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi, atau kanker. Sindrom stres hematologik ini terdiri dari peningkatan destruksi eritrosit di limpa, peningkatan ambilan besi oleh makrofag yang tersekuestrasi, penurunanan produksi eritropoietin di ginjal, dan penurunan respon eritropoiesis di sumsum tulang. Selain menyebabkan sekuestrasi makrofag, sitokin yang berlebihan juga akan menyebabkan peningkatan aktivitas fagositosis makrofag dan sebagai bagian dari filter limpa menjadi kurang toleran terhadap kerusakan minor eritrosit. Pada keadaan malnutrisi, terjadi penurunan transformasi T4 menjadi T3yang mengakibatkan terjadinya hipotiroid fungsional. Hipotiroid fungsional menyebabkan penurunan kebutuhan terhadap hemoglobin yang mengangkut besi sehingga produksi eritropoietin berkurang.1

b.      Gangguan Produksi Eritrosit
1.    Gangguan metabolisme besi.
          Pada anemia jenis ini cadangan besi normal tetapi kadar besi rendah. Jadi, anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Pada umumnya terdapat gangguan absorpsi Fe walaupun ringan. Ambilan Fe oleh sel –sel usus dan pengikatan apoferitin intrasel masih normal sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa defek yang terjadi pada anemia ini yaitu gangguan pembebasan Fe dari makrofag dan sel- sel hepar pada pasien.1
2.    Gangguan fungsi sumsum tulang.
          Yaitu respon eritropoietin terhadap anemia yang inadekuat. Hal ini terkait dengan sitokin- sitokin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera yaitu IL-1, TNF-α, dan IFN-gamma. Kadar IFN- gamma berhubungan langsung dengan beratnya anemia. TNF –α yang dihasilkan oleh makrofag aktif akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. IL-1 akan menekan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia.1

Gambaran Klinis
                Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 g/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari anemia jenis ini dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.1

Pemeriksaan Laboratorium
                Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31 beberapa="" dan="" dengan="" dl="" fl.="" g="" mcv="" mempunyai="" mikrositer="" sel="" sup="">1,3
Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya. Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur. Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.1

Diagnosis dan Diagnosis Banding
                Banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi, dan keganasan mengalami anemia, tetapi anemia yang terjadi pada pasien tersebut dapat disebut sebagai anemia pada penyakit kronis jika memenuhi ciri- ciri sebagai berikut: anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar Fe serum dan TIBC rendah, kadar Fe dalam makrofag yang terdapat dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat.1
                Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan diagnosis anemia pada penyakit kronis: anemia dilusional, drug-induced marrow suppression  atau drug induced hemolysis, perdarahan kronis, thalasemia minor, gangguan ginjal, metastasis pada sumsum tulang.1

Tata Laksana
                Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:1
a.       Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa pasien anemi penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dL.
b.      Preparat Besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik masih terus dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-α. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.
c.       Eritropoietin. Data penelitan menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin mempunyai beberapa keuntungan, yakni mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α dan IFN-γ. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
                Saat ini terdapat 3 jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, beta dan darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.
                Dengan demikian mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi maupun eritropoietin.


Daftar Pustaka
  1. Supandiman I,Fadjari H, Sukrisman L. Anemia Pada Penyakit Kronis. Buku Ajar Ilmu     Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam,2009;h.1138.
  2. Kumar, Cotran, Robbins.Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku Ajar Patologi.Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2007;h.463.