Keajaiban terjadi kisah mualaf warga tionghoa ini berawal saat truk yang dikendarainya masuk jurang. Puluhan tahun silam, tahun 1978, saat tubuh Hery Susetyo (Thio Hwa Kong), warga Tionghoa asal Desa Bobotsari Kecamatan Bobotsari Purbalingga masih bertenaga, ia nyaris mati muda.
Tetapi kenyataan memang kerapkali sulit dinalar. Allah masih memberikan kesempatan dia hidup, dan menjadi manusia baru sebagai muslim. Suatu hari, persis tengah malam, pukul 00.00 WIB, dalam perjalanan penjang dari Banyumas-Cirebon yang melelahkan, maut mengintai Hery.
Rem truk yang dikendarainya tiba-tiba blong sesampai di sebuah turunan di Bumiayu. Dalam kecepatan yang tinggi, ia hilang kendali. Ia bahkan tak mampu menyelamatkan diri.
Kendaraan terus meluncur, mendekati mulut jurang yang menganga di ujung tikungan.
Saat nyawanya di ujung tanduk, Hery terkejut karena keanehan yang menyelimutinya.
Suara tanpa rupa membisik keras di telinganya. Bisikan gaib itu memintanya untuk mengucapkan kalimat Takbir (Allahu Akbar).
Bagaimana mungkin, dia yang saat itu masih beragama Konghucu harus mengucapkan puji-pujian yang biasa diucap umat Islam.
Tetapi, meski beragama Konghucu, Hery ternyata tak asing dengan kalimat takbir. Dia tak kesulitan menuruti bisikan itu untuk melafalkan kalimat takbir.
“Saya dulu biasa tidur di musala. Jadi tahu takbir. Sehingga waktu ada yang bisikkan suruh takbir saya mengerti,” katanya.
Truk bermuatan gula kelapa itu pun terjun bebas ke jurang sedalam belasan meter. Sementara Hery masih terjebak di ruang kemudi.
Kondisi mobil tak perlu ditanya, remuk tak berbentuk, termasuk ruang kemudi tempat Hery duduk.
Warga yang mengetahui peristiwa itu berusaha melakukan pertolongan. Tentu saja, tindakan pertama mereka adalah menyelamatkan korban yang mungkin masih terjepit di dalam mobil.
Tetapi mereka tidak menemukan korban terjebak di dalam mobil yang telah hancur itu.
Aneh, sang pengemudi, Hery justru ditemukan tergeletak di sebuah batu besar di dasar jurang. Hery tak sadarkan diri, namun tak mengalami luka berarti.
“Bukan babak belur terhimpit bodi mobil, tapi justru saya tidur di atas batu,” katanya.
Pengalaman spiritual yang dialami Hery hingga lolos dari maut ternyata belum mampu mengubah pendiriannya untuk memeluk Islam saat itu.
Hery menyimpan pengalamannya dan kembali pada kehidupannya yang normal. Meski hatinya tetap gelisah karena keajaiban yang dia alami tak mungkin terlupa.
Hingga 20 tahun kemudian, ia mendapatkan tamu tak terduga.
Beberapa pria bermata sipit yang merupakan tokoh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Tengah membujuknya agar mau menjadi pimpinan PITI di Purbalingga.
Tentu saja tawaran itu membuatnya terkejut. Ia yang saat itu masih beragama Konghucu tiba-tiba ditawari menjadi pimpinan PITI yang seluruh anggotanya muslim.
Tetapi inilah jawaban atas kegalauan hatinya selama ini, semenjak ia merasakan keajaiban takbir ketika nyawanya nyaris terenggut, puluhan tahun silam. Kali ini ia pun benar-benar yakin untuk menyatakan ke-Islamannya, tahun 2001.
Ia tak segan berterus terang ke keluarganya atas perubahan keyakinannya itu. Anak-anaknya yang telah lulus perguruan tinggi diyakininya sudah dewasa dan siap menerima keputusannya.
Dia bahkan bersyukur karena sang istri bukan hanya mendukung keputusannya, namun juga mengikuti jejaknya menjadi mualaf.
“Jadi meskipun sudah puluhan tahun kejadian kecelakaan, lalu saya kembali di kehidupan terminal, ternyata hidayah itu tidak hilang,”katanya
Menjadi seorang mualaf membuat Hery haus akan pengetahuan agama untuk mempertebal keyakinannya. Ia serius mempelajari Islam dan belajar mengaji Al Quran kepada ustaz yang dipercayainya.
Tahun 2005, Hery berhasil mengkhatamkan Al Quran yang memperteguh keimanannya.
Tetapi ia belum merasa puas dengan hanya mempelajari pengetahuan Islam. Hery ingin memberikan kontribusi lebih kepada agamanya atau bermanfaat untuk umat. Ia pun bertekad untuk membangun masjid.
Dengan modal sekitar Rp 180 juta, ia membeli tanah rawa di pinggir jalan raya Purbalingga-Pemalang, di Kecamatan Mrebet Purbalingga.
Hery dibantu donatur lain membangun Masjid dengan arsitektur Tiongkok. Masjid yang bangunannya serupa kelenteng itu kemudian dinamakannya Masjid Muhammad Cheng Ho, salah satu Masjid kebanggaan umat Islam di Purbalingga yang diresmikan tahun 2011.
“Saya merasakan ketenangan setelah memeluk Islam. Ajarannya tidak beda jauh dengan budaya China, misalnya mengajarkan untuk berkata benar atau jujur,” katanya.
Semoga artikel di atas bermanfaat bagi anda.