Blastocystis Hominis

Blastocystis Hominis

Epidemiologi
B.hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di feses manusia, baik pada pasien yang sakit maupun yang sehat. Di Indonesia prevalensinya mencapai 60% dengan prevalensi tertinggi terdapat pada anak dibawah 6 tahun (25%). Prevalensi B.hominis lebih tinggi pada masyarakat di negara tropis, imigran, pejalan dari area endemik, dan masyarakat dengan tingkat sosioekonomi yang rendah.28

Morfologi & Daur Hidup

B.hominis diklasifikasikan ke dalam subkingdom Protozoa. Umumnya berbentuk bulat dengan ukuran berkisar 6-40 mikron. Selain itu, karakter yang dimiliki adalah besar dengan pusat tubuh yang dikeliling beberapa nukleus kecil.29 Daur hidup dari B.hominis ini masih belum dimengerti dengan baik, menurut Boreham dan Stenzel30, sel nonvakuola kecil muncul di kolon dan berkembang menjadi bentuk multivacuolar yang kemudian berkembang menjadi fase kista resisten dan keluar melalui feses. Infeksi pada hospes baru terjadi saat penelanan kista.

Patogenesis
Infeksi B.hominis ditransmisikan melalui jalur fecal-oral. Infeksi ini sering didapatkan pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan higienitas yang rendah. Patogenisitasnya B.hominis masih sulit untuk dipastikan karena ketidakmungkinan untuk mengeliminasi semua penyebab dari gejala gastrointestinal.23

Manifestasi Klinis
Penyebab klinis kelainan gastrointestinal oleh infeksi B.hominis masih kontroversial. Sering kali infeksi ini ditemukan tidak bergejala, namun, manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain kembung, flatulense, diare ringan sampai sedang tanpa disertai fecal leukosit atau darah, nyeri perut, mual, dan gangguan pertumbuhan. Ketika B.hominis teridentifikasi dalam tinja pasien, penyebab lain dari gejala ini khususnya Giardia intestinalis  dan Cryptosporidium parvum harus diinvestigasi terlebih dahulu sebelum mengasumsikan bahwa B.hominis adalah penyebab gejalanya.23

Diagnosis
Diagnosis B.hominis didasarkan pada identifikasi berulang B.hominis pada sampel tinja.28

Tata Laksana
Indikasi untuk penatalaksanaan hingga kini masih belum berdiri tegak. Perawatan harus diberikan untuk pasien yang memiliki gejala persisten dimana pasien tersebut tidak memiliki patogen lain yang juga dapat menyebabkan simtom gastrointestinal yang dimilikinya. Secara acak, penelitian untuk nitazoksanid dan metronidazol telah menunjukan hasil untuk pasien dengan simtomatik. Trimetoprim-sulfametoksazol dan iodokuinol telah digunakan namun memiliki tingkat keberhasilan yang masih terbatas.23

28. Agustini R. Blastocystis hominis infection among preschool children in Jatinegara District: in association with nutritional status [online]. Diunduh pada tanggal 12 April 2011 dari http://www.digilib.ui.ac.id/Lontar/file?file=digital/...Infeksi%20blastocystis-Abstrak.pdf
29. American Water Works Association. Waterborne pathogens. 2nd Ed. USA; 2006.p.189  
30. Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW. Microbiological safety and quality of food. USA: Aspen Publication; 2000;2:1443 
31. Anonim. Blastocystis hominis. Diunduh pada tanggal 15 Januari 2012 dari http://www.phsource.us/PH/HELM/PH_Parasites/Blastocystis hominis.htm
32. Wikantara AG, Anggara B, Santosa IB. Entamoeba histolytica dan Entamoeba coli [disertasi]. Bali: Universitas Udayana; 2010. 
33. Garcia SL. Practical guide to diagnostic parasitology. Washington: American Society for Microbiology; 1999.p.190